Pages

Selasa, 24 Maret 2015

CERPEN: PERSAHABATAN DI TENGAH HUJAN

Namaku adalah Tiara McRainne, aku mempunyai sahabat bernama Mutia. Mutia adalah anak yang pintar, dan berani. Arti hidup yang sebenarnya aku jalani ketika aku mulai bersahabat dengan Mutia. Aku dan Mutia mempunyai kalung hati yang menandakan persahabatan kami. Di kalung tersebut, tertulis kata “MUTIARA FOREVER”. Mutiara adalah gabungan dari nama kami, yaitu Mutia dan Tiara. Persahabatan kami selalu diganggu oleh “Two Angels”.
Ya, mereka adalah Jessica dan Claura, 2 orang perempuan yang bersahabat. Mereka memang lebih kaya, lebih putih, kulitnya pun lebih mulus dariku. Tapi, itu semua tak sebanding dengan sifat mereka yang terlalu sombong dengan apa yang telah mereka miliki. Mereka selalu menganggapku itu sebagai sampah yang tak pernah berguna. Hanya aku yang selalu dihina oleh Jessica dan Claura, karena aku adalah orang miskin.
Berbeda dengan Mutia yang mama dan papanya memiliki perusahaan yang terkenal. Tapi, Mutia sangat baik, dia selalu membelaku habis-habisan. Suatu hari, saat aku dan Mutia sedang bersekolah. Jessica dan Claura datang kepadaku. Memang, saat itu sedang istirahat, siswa diperbolehkan bermain, makan, membaca buku dan lainnya.
“Tiara! Kamu jangan dekat-dekat Mutia lagi tau! Mutia itu kaya, cantik, kulitnya mulus, lah… kamu? Kamu itu miskin! Udah deh… jauhin aja tuh Mutia! Kalau enggak, kamu pasti akan tau akibatnya dari kami!” kata Jessica mengancamku. Aku hanya menundukkan kepala. Tetapi, berbeda dengan Mutia, Mutia tidak terima aku dikatakan seperti itu langsung membela dengan berani.
“Kalian! Jangan sekali-kali mengancam dan mengejek Tiara seperti itu! Dia adalah manusia yang cantik dari luar maupun dalam! Daripada kalian, hatinya busuk!” kata Mutia membelaku. “Udah deh Mutia, kamu itu pantasnya jadi teman kami, bukan jadi teman dia!” kata Claura sambil menunjuk aku dengan ketus. “STOP! Sana pergi!” kata Mutia yang sudah tidak tahan lagi dengan “Two Angels”.
Jessica dan Claura pun pergi dengan marah. “Kamu tak apa kan Tiara? Maafkan mereka ya, kalau mereka selalu menghinamu,” kata Mutia ramah. “Aku tidak apa-apa Mutia” jawabku. Aku dan Mutia kembali ke kelas. Hari mulai siang, saatnya untuk pulang. Mutia sudah pulang oleh sopirnya. Aku mengayuh sepedaku dengan gontai. Di tengah perjalanan, terlihat mobil sebuah mobil menghampiri sepedaku. Mobil itu melaju kencang dan menyenggol sepedaku hingga terjatuh.
Kaki dan tanganku berdarah. Pintu mobil itu pun terbuka, keluarlah 2 anak perempuan yang sepertinya tidak asing lagi di mataku. Mereka adalah Jessica dan Claura! “Hei, anak kampung, jika kamu tidak menjauhi Mutia kamu akan mendapat balasan dari kami. Inilah salah satu balasan dari kami! Kalau masih saja kamu bersama Mutia, kami akan menghukummu lebih dari ini. Kalau perlu, kami akan menghukum Mutia juga! Tapi untuk Mutia akan lebih kejam! Kami tidak main-main!” ancam Jessica dilanjutkan oleh anggukan kepala Claura.
“Tapi…” kata-kataku terputus. “Tidak usah tapi-tapian! Kami tidak mau tau, kamu harus menjauhi Mutia!” ucap Claura ketus. Jessica dan Claura pun kembali masuk ke mobilnya dan pergi. Aku bangun, dan kembali mengayuh sepedaku menuju ke rumah. Aku langsung masuk ke kamarku sambil menangis. Maafkan aku Mutia, aku terpaksa harus menjauhimu supaya kamu tetap aman…, kataku dalam hati sambil menangis.
Ah… hari ini memang hari yang menyedihkan bagiku, Mutia yang selalu membelaku sekarang harus kujauhi? Aku tidak rela, tapi… ini demi Mutia! Aku tak mau Mutia dihukum oleh Jessica dan Claura! Keesokan hari yang mendung… “Tiara, sekarang kan istirahat kita ke perpustakaan yuk!” ajak Mutia. Aku hanya bisa pergi meninggalkan Mutia, karena sedari tadi aku dan Mutia diawasi oleh Two Angels. Aku berlari ke taman belakang sekolah sambil terus menitikkan air mata.
Aku menangis di bawah pohon rindang. “Maafkan aku Mutia…,” tangisku.
“Tiara! Kenapa kamu pergi dari aku? Maafkan aku kalau aku bersalah padamu,” kata Mutia yang ternyata sedari tadi mengikutiku. Aku kembali berlari… langit yang sedari tadi mendung, mulai menurunkan hujannya yang dingin… Di tengah hujan, aku berlari menghindar dari Mutia… Mutia pun terus mengejarku…
Di tengah hujan kami berlari saling mengejar. Hujan turun, makin deras. Namun, tiba-tiba… Mutia terjatuh dan mulutnya mengeluarkan darah. Tak lama ia tergeletak di tanah. Aku yang melihat kejadian itu langsung berlari ke arah Mutia. “Mutia, kamu kenapa?” kataku khawatir. “Maafkan aku Tiara… Aku telah lama punya penyakit yang tak ada obatnya… Jika aku terkena hujan sambil aku berlari… Kondisiku akan melemah…,” cerita Mutia.
“Maafkan aku juga Mutia telah menjauhi kamu…,” kataku. “Iya, gak apa-apa… Selamat tinggal Tiara… Semoga persahabatan kita selalu ada selamanya… Jaga dirimu baik-baik, Aku akan selalu ada di dalam hatimu Tiara… Terimakasih atas segalanya,” kata Mutia. “Jangan ngomong seperti itu, kamu pasti akan selalu ada bersamaku disini, di dunia ini!” kataku. “Tidak Tiara, waktunya sudah tiba… Selamat tinggal sahabatku…,” kata Mutia seraya memejamkan matanya.
“Tidak… tidak kita akan selalu disini di dunia ini Mutia…,” kataku. Mutia tak bergeming. “Mut.. Mut… MUTIA!!” teriakku. Hujan membasahi tubuhku dan Mutia yang telah tiada. Air mata berlinang tanpa henti. Semua murid dan para guru berdukacita atas kepergian Mutia.
Selamat tinggal sahabatku, engkau akan selalu ada dalam hatiku. Aku yakin, kamu akan selalu ada untukku disini, di sampingku. Selamat tinggal, semoga engkau senang ada disana…
Cerpen Karangan: Cornelia Krisna Wijaya dan Frida Dyah PP (menuliskan cerpen secara duo)
Facebook: Cornelia Krisna Wijaya dan Frida Dyah

0 komentar:

Posting Komentar

 

(c)2009 Gys!. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger