Pages

Selasa, 24 Maret 2015

CERPEN: TEMAN YANG TERTUKAR

Pagi itu, seperti hari Sabtu setiap minggunya, Verina pergi les melukis. Ia berjalan kaki ke ke sanggar lukis karena tempatnya tidak jauh dari rumahnya. Ia selalu senang pergi ke sanggar lukis karena selain ia suka melukis, di sana ia akan bertemu teman-temannya. Ada Stella yang cantik dan suka melucu, ada Risha si pemarah tapi suka membagikan permen dan kue, Danniela si tomboy tapi bisa melukis sangat bagus, dan Lena yang pendiam tapi senang menggambar anime. Mereka tidak bersekolah yang sama dengan Verina dan hanya bertemu di sanggar. Karena itu, Verina selalu menantikan jadwal lesnya untuk bisa bertemu dengan teman-temannya tersebut.
Verina sedang membayangkan apa yang akan dia lukis hari itu, ketika tiba-tiba seseorang mengagetkannya. Ternyata itu Danniela. “Duh, Danniel, kamu mengagetkan aku saja. Ada apa, sih?” tanya Verina hampir mau jatuh karena dikagetkan. “Ayo cepat ke sanggar! Aku tadi ditelepon Risha. Sesuatu yang aneh terjadi pada Stella!” jawab Danniela sambil menarik tangan Verina. “Ada apa dengan Stella?” tanya Verina. Danniela tidak menjawab dan hanya berlari. Akhirnya Verina pun berlari mengikuti Danniela. Jantungnya berdetak kencang. Dia tidak ingin ada hal yang buruk terjadi pada hari itu. Dia juga tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada Stella.
Verina senang bermain dengan Stella karena dia selalu datang dengan cerita-cerita yang konyol, atau teka-teki yang sukar ditebak. Tapi Stella paling suka bermain knock-knock jokes – teka-teki dalam bahasa Inggris. Dia mengoleksi banyak buku teka-teki jenis itu. Katanya, kakeknya dulu sering bermain teka-teki itu dengannya. Verina hampir sering tidak bisa menjawab teka-teki yang diberikan Stella. Tapi dia senang mendengarkan teka-teki Stella karena jawabannya yang lucu.
Sesampainya Verina dan Danniela di sanggar, teman-teman mereka menghampiri. “Ada apa sih Risha?” tanya Danniela ke Risha. “Aku terburu-buru sampai gak sempat sarapan. Bagi dong kue kamu.” Daniella melongok ke tas Risha yang memang selalu berisikan permen dan kue. “Ihhh, ntar dulu dong. Aku mau cerita dulu,” kata Risha. “Stella berubah hari ini. Rambutnya panjang sepinggang sekarang! Mana mungkin dia bisa memanjangkan rambutnya yang sebahu dalam waktu seminggu.” kata Risha. “Dia juga tidak bisa menjawab teka-tekiku. Padahal dia khan paling jago menjawab teka-teki. Anehnya lagi, dia gak tahu nama aku! Aku kan selalu duduk di sebelahnya. Sudah 6 bulan! Masa’ bisa lupa namaku?!”. Risha mulai menggerutu. “Hah?! Masa’ sih? Jangan-jangan dia gak kenal kita lagi?,” kata Verina. “Rambutnya disambung dengan rambut palsu barangkali…,” kata Daniella. “Iihhh, buat apa dia sambung rambut segala? Tapi itu sepertinya rambut asli kok,” jawab Risha. “Stttt, itu Stella datang.”
Dari dalam kelas, Stella datang menghampiri mereka. “Hai, teman-teman. Apa kabar?.” kata Stella. “Kalian sedang apa? Nanti aku boleh duduk di samping kamu ya?,” Stella menunjuk ke arah Verina. Verina sangat kaget. Sebelumnya Stella belum pernah duduk di sebelahnya. Stella selalu duduk di samping Risha karena mereka berdua suka duduk di depan kelas. Mereka selalu bersaing untuk menghasilkan lukisan yang terbaik. Oleh karena itu sehingga mereka selalu dengan seksama mendengarkan insturksi guru lukis.
Tiba-tiba, Stella menyodorkan tangannya ke mereka. “Kenalan dong,” kata Stella. “Hah?,” Verina bingung. “Kamu khan dah kenal aku? Kenapa berkenalan lagi,” tanya Verina. “Aku belum kenal kamu,” tegas Stella. “Tuh kan, aku bilang apa?,” bisik Risha ke Danniela sambil menyikutnya. “Sungguh aku belum kenal kalian,” kata Stella lagi.
Daniella mendekati Stella. Ia memegang rambut Stella yang tidak biasanya karena yang sekarang panjang rambut Stella adalah sepinggang. “Ini rambut asli?,” “Stella mengibaskan rambutnya. “Iya. Ini rambut asli. Kenapa?,” tanya Stella. “Benar rambut asli? Bukan sambungan?” tanya Daniella lagi. “Kalian ini aneh ya? Diajak berkenalan, tidak mau… ehh.. malah tanya-tanya soal rambutku.” Stella terdengar kesal. “Boleh dong tanya?,” jawab Risha. “Soalnya rambut kamu khan sebelumnya tidak sepanjang ini,” sambung Risha. “Rambutku memang sepanjang ini. Aku tidak memotong rambutku sejak kelas 3 SD,” sahut Stella. “Bagaimana bisa?,” kata Risha. “Minggu lalu, rambut kamu masih sebahu,” kata Risha lagi.
Raut wajah Stella yang awalnya terlihat kesal, tiba–tiba berubah. “Oohhh aku tau sekarang,” katanya. “Iya nih. Bukan rambut asli.” Danniela bersikeras. “Iihhh geli pakai rambut orang lain!.” Daniella mengusap-usapkan tanggannya ke badannya seperti jijik sudah memegang rambut Stella. “Ini rambut asli! Bukan rambut palsu!,” teriak Stella.
Tiba-tiba, kak Gina, guru lukis mereka datang. “Ada apa ini? Kok kalian berteriak-teriak. Ayo semua masuk kelas! Kita mulai belajar.” Dan mereka pun dengan terpaksa menghentikan percakapan mereka. Stella mengambil duduk di sebelah Verina. Anak-anak yang lain menoleh ke arahnya. Danniela berseru, “kamu duduk di depan di sebelah Risha.” Seakan tidak mendengar seruan Danniela, ia tetap duduk di samping Verina. Risha mengerenyitkan dahinya lalu membuang muka. Verina berbisik ke Stella, “bukannya kamu selalu duduk di depan?.” Tapi belum sempat dijawab oleh Stella, kak Gina menegur mereka. “Ayo, jangan ribut. Keluarkan alat-alat lukis kalian. Lihat ke depan. Hari ini kita akan belajar melukis pantai.”
Mereka pun kemudian sibuk menyiapkan alat lukis mereka. Kak Gina adalah guru yang sabar dan tegas. Dia bisa sabar menjelaskan materi pelajaran tapi dia sangat tegas kepada siswa yang tidak mendengarkan instruksinya. Bahkan Danniela yang biasanya cepat bosan dan mengganggu teman-temannya tidak berani bersuara bila diajar oleh kak Gina.
10 menit berlalu tanpa kejadian apa-apa. Tiba-tiba… “Aduh!”, jerit Stella. “Kak, ada yang menarik rambutku!” Kak Gina yang sedang mengamati lukisan Risha menoleh ke arah Stella. “Ada apa? Jangan ribut. Konsentrasi ke lukisan kalian.” Stella menoleh ke belakang tapi semua anak yang duduk di belakang tidak ada yang melihat ke arahnya. Stella pun kembali melukis.
“AWWW!!!.” Kali ini Stella menjerit lebih keras. Saking kagetnya Verina menumpahkan air tempat ia menaruh kuas-kuas lukisnya. “Aduhhh Stella, kamu kenapa sih?!” teriak Verina kesal. “Lihat! Berantakan semuanya!.” Anak-anak yang lain juga memandang kesal ke arah Stella. “Iya nih! Kenapa sih Stel? Bikin kaget orang saja!.” Risha juga berdiri berkacak pinggang dan melotot ke Stella. “Lihat nih lukisanku jadi berantakan!” Ada warna yang keluar dari garis gambar perahu yang dilukisnya. “Kamu kan tau bikin lukisan bagus tuh susah. Masa’ aku harus mengulang lukisanku?!” Risah mengomel.
“Ada apa dengan kalian?” tanya kak Gina sambil menghampiri Verina dan Stella. “Ini kak, Stella berteriak. Aku kaget dan menyenggol tempat kuasku,” kata Verina. “Aku berteriak karena ada yang menarik rambutku lagi. Kali ini tarikannya kencang sehingga aku merasa sakit sekali,” jelas Stella. Ia memandang ke sekeliling kelas dengan sinar mata bersalah. Tapi sekali lagi tidak terlihat siapa yang menarik rambut Stella. “Kenapa sih ada yang berbuat iseng ke Stella?” tanya kak Gina. Ia sendiri tidak tahu harus menyalahkan siapa karena ia tidak melihat siapa yang menarik rambut Stella. “Pokoknya saya tidak lagi mau mendengar suara gaduh. Kalo saya mendapatkan orang yang berbuat iseng ke Stella, maka orang itu tidak boleh lagi masuk ke kelas saya. Mengerti?!,” tegas kak Gina. Semua anak mengangguk termasuk Risha yang masih kesal karena lukisannya rusak.
Verina memungut kuas-kuasnya. “Maafkan aku ya, Ver,” kata Stella sambil membantu Verina mengembalikan kuas ke tempatnya. “Mari aku bantu membersihkan tumpahan airnya.” “Tidak apa-apa Stella.” “Apa? Stella?.” Stella memandang aku dengan aneh. “Ehh aku bukan…”. Kak Gina kembali menegur mereka, “Ayo cepat membereskan kuasnya. Waktu kalian melukis sudah mau habis.” Mereka pun lalu cepat-cepat bekerja dan kembali melukis.
Usai kelas melukis, Verina cepat-cepat merapihkan alat-alat lukisnya. Stella menghampirinya. “Ver, ada yang mau aku sampaikan.” Tapi Danniela menyela di antara mereka. “Ayo Ver cepat. Perutku sudah lapar. Kita ke kantin. Tumben Risha tidak membagikan kuenya. Apalagi sekarang dia masih kesal.” Danniela melirik ke arah Stella. “Sudahlah. Ayo ke kantin. Kami duluan ya Stella.” Verina menarik tangan Danniela. Dia merasa kasihan kepada Stella. Danniela suka berkata judes kepada orang yang dia tidak suka. Tapi dia juga masih bingung kenapa Stella bertingkah laku aneh kepada mereka.
Di kantin, ketika mereka secang melihat-lihat makanan yang dijual di counter makanan, seseorang melambai ke arah mereka. Di depannya duduk Risha dengan raut muka menyesal. “Ver! Dan! Sini!,” teriak orang itu. Mereka pun menoleh ke arah orang itu. Lalu mereka saling berpandangan. “Orang itu seperti Stella…”. “Tapi tadi khan Stella ada di kelas.” “Tapi yang ini juga mirip Stella,” kata Danniela sambil melihat ke arah Stella yang melambai. “Dan! Ver! Sini!,” seru orang tadi lagi.
Verina dan Danniela lalu menghampiri Risha dan orang itu. “Ini aku, Stella. Masa’ kalian lupa?” “Hah??,” ujar Verina dan Danniela. Anak perempuan ini memang lebih mirip Stella dengan rambutnya yang sebahu dan matanya yang berbinar-binar bila ia sedang merasa senang atau menemukan hal yang lucu. Risha yang duduk di depannya mengangguk. “Iya Ver, Dan. Ini Stella yang asli. Dia tidak masuk kelas hari ini karena dia bangun kesiangan. Dia hanya duduk di kantin karena menunggu adiknya.” Dari belakang mereka, datanglah Stella berambut panjang. Stella berambut sebahu berdiri, lalu mengamit lengan Stella berambut panjang. “Ini adikku. Kami kembar. Aku tidak pernah bilang kepada kalian karena adikku awalnya tidak tinggal dengan keluargaku. Teman-teman, kenalkan ini Sheila.” Sheila tersenyum memandang Risha, Danniela dan Verina.
Mereka lalu berkumpul di satu meja. Setelah memesan makanan dan minuman, Stella memberi penjelasan kepada mereka. “Aku dan Sheila adalah kembar identik. Wajah dan penampilan kami sangat mirip. Tapi Sheila lebih pendiam dan kurus dibandingkan aku. Dia juga pendiam. Kalo aku khan cerewet.” Stella tergelak, dan mereka semua ikut tertawa. “Tapi kenapa kamu tidak pernah cerita kalo kamu punya adik kembar?,” tanya Verina. Ia merasa lega karena sekarang dia tahu mengapa Stella, atau Sheila, bertingkah laku aneh. “Bude, atau kakak ibuku tidak punya anak. Jadi waktu ibu kami melahirkan aku dan Sheila, Bude mengambil Sheila untuk diasuh. Kami sering bertemu tapi karena kami tinggal terpisah, Sheila dan aku pergi ke sekolah yang berbeda. Jadi memang tidak banyak yang tahu bahwa kami kembar,” kata Stella. Lalu Sheila menambahkan, “Stella sering bercerita bahwa dia les melukis di sanggar. Aku juga suka melukis. Jadi aku minta Bude untuk memasukkan aku di sanggar lukis ini. Sayangnya, di hari pertama aku masuk, Stella bangun kesiangan sehingga tidak bisa menemani dan mengenalkan aku kepada kalian.”
Verina, Danniela, dan Risha terpaku terhadap cerita Stella dan Sheila. Mereka tidak tahu Stella mempunyai seorang adik kembar. Dia tidak pernah memberitahu ketiga temannya tentang ini, tapi, masalah telah terpecahkan. “Ooooh, begitu. Sekarang kami mengerti ceritamu, stel. Sheil, maafkan kami telah bertengkar denganmu, kami, kan tidak tahu kalian kembar.” “Tidak apa- apa, teman-teman, lagipula masalah ini sudah selesai, tapi dik, kita harus mendaftarkan mu ke sanggar lukis kami besok, oke?” kata Stella. “oke, kak.” Kata Sheila lalu semuanya bergegas pulang ke rumah masing- masing.
Keesokan harinya di sanggar, bude mendaftarkan Sheila ke kak Gina, dan sehingga Sabtu depannya, Sheila menjadi bagian dalam sanggar lukis Verina dan ketiga sahabatnya. Semuanya terlihat kembali normal.
Cerpen Karangan: Fairuz N. Izzah
Facebook: kumpulan cerita Fairuz

0 komentar:

Posting Komentar

 

(c)2009 Gys!. Based in Wordpress by wpthemesfree Created by Templates for Blogger